CERPEN : Khodir dan Surat Rahasia



Khodir dan Surat Rahasia
Keheningan malam dengan dihiasi sahut-menyahut jangkrik dan hewan-hewan lainnya. Terlebih eongan kucing liar yang sedang mencari anaknya. Terlihat pula Bu Dhenok tetangga persis sebelah rumahku sedang sibuk mondar-mandir seperti cacing kepanasan. Kecemasan dan kekhawatiran terpancar dari rona wajahnya. Nampaknya ia sedang menunggu si Khodir anaknya yang tak kunjung nampak batang hidungnya. Malam itu benda melingkar di sudut rumahku, sepasang jarum yang romantis itu bersatu menunjuk ke angka 12.
Tak seperti biasanya dan terasa aneh bagi Bu Dhenok. Selepas ba’da isya tak ada lagi yang dilakukan khodir selain menemani ibunya ;Bu Dhenok di rumah. Kami sebagai tetangga biasanya mengisi waktu luang dengan berbincang di bale itu di pelataran rumah. memang aku dan Khodir tinggal di perkumuhan di salah satu sudut kota jakarta, kota metropolitan yang penuh dengan fasilitas yang memadai dan warganya pun sejahtera, katanya. Tapi lain halnya denga kami para perantau yang terpaksa menggat dari kampung halaman berharap tuk dapat sesuap nasi.
Sepasang jarum jam itu terus berputar, saling kejar-kejaran bak sepasang kekasih yang tak ingin berpisah. Sejenak aku tertegun melihat Bu Dhenok yang tak mungkin rasanya sanggup menutup matanya sementara anak kesayangannya belum juga pulang.
Semenjak pak salim, suaminya meninggal, Bu Dhenok dan anaknya ; khodir hanya tinggal berdua saja di bilik itu. Melihat kerisauan Bu Dhenok makin menjadi, sontak ku putuskan tuk bertanya, “memang Khodir kemana Bu?”, tak ada sahutan apalagi jawaban darinya hingga kuputuskan tuk berdiri dihadapannya dan melayangkan pertanyaan yang sama, “Si Khodir kemana Bu?”, entah apa yang dipikirkan oleh Bu Dhenok, sama tak ada jawaban.
Ku kibarkan tangan ini ke arah matanya sampai ia tersadar akan keberadaanku. Dengan segera ia mengusap air mata yang membanjiri wajahnya dengan lengan bajunya yang terurai panjang dan langsung memasang senyuman kepadaku, “Aya naon atuh, Jang?”, si Ibu perantauan dari sumedang, Jawa Barat, dengan kerudung yang selalu terpasang di kepalanya, baju kebaya yang kusam dan kain batik yang pudar sebagai bawahan pakaiannya.
“Memang Khodir kemana?”, pertanyaan itu kulontarkan kembali.
“Oh tidak, mungkin dia lagi pergi sama babaturannana(temannya)?”, dengan nada lirih dan penuh santun itu, “Kenapa belum tidur?”, dan aneh ia malah bertanya padaku serasa tak ada masalah sama sekali sebelumnya.
“Ya sudah, sana istirahat, besok kan hari minggu, jangan sampai telat bangun nanti kehabisan rejeki?”, kata-katanya pelan seperti berbisik.
“Oh iya, harus cepet nie, kalo nggak,???, nanti keduluan sama pemulung yang laennya? Ibu tidur juga ya? “, polosku.
Jalur kontrakan kami hampir seluruhnya mempunyai profesi tambahan sebagai pemulung di boker(tempat sampah, gudang uang bagi para pemulung). Biasanya sampah-sampah dari orang-orang komplek Wayana Jaya (komplek orang-orang berdasi) itu dioper pagi-pagi benar ke boker ini (tempat pembuangan terakhir).
“ya sudah cepat tidur sana, gak usah mikirkeun si Khodir. Yah mungkin besok juga pulang atau mungkin sudah duluan ke boker?”, seperti tak terjadi apa-apa barusan ia malah menasehatiku.
Si raja siang bersiap datang perlahan menuju singgasananya di ufuk barat.
“Duh sial, udah siang nie, kagak kebagian rejeki? Coba abis subuh tadi gw gak tidur lagi?”, sesalku.
Kulihat Ibu dan Ayahku sudah tak ada di rumah. nampaknya sudah berangkat ba’da subuh tadi. Kubuka daun pintu rumah yang keropos akibat digerogoti rayap itu, tampak kulihat Bu Dhenok sedang duduk termangu menatap konvergen ke arah satu titik menuju ujung jalan ke tikungan lurus ke depan rumahnya menanti kehadiran anak sematawayangnya pulang.
“Bu, nggak berangkat??”, sapaku yang dengan tidak sengaja membangunkan lamunannya.
“Ibu lagi kurang sehat?”, pikirku sepertinya ia masih menunggu anak kesayangannya pulang. Ia mau saat Khodir pulang nanti, setidaknya Ia bisa membuatkan sesuatu buat Khodir. Entah apakah itu air hangat untuk mandi, kopi susu hangatkah?, atau mungkin pijatan seorang Ibu buat badan Khodir yang sedang pegal-pegal.
Dasar Ibu yang telampau sayang sama anaknya.
Tanpa menghiraukannya lagi, sambil berlari menuju gudang uang itu, “nanti kalau ketemu Khodir, akan iyan sampein untuk pulang dulu?”, dengan senyum dan anggukan kepalanya ia membalasku.
Tiba disana puluhan pemulung sudah bersiap mengais rejeki sebelum dipatok ayam. Kujelajahi kober tapi Si Khodir, pria berwajah polos, dengan kulit agak hitam dan perawakanny yang sedikit gemuk itu, tak nampak pula batang hidungnya.
“Kemana??, apa udah pulang?”, hatiku bicara.
Siang, setelah kurasakan karungku tidak cukup lagi untuk menampung harta karun yang masih begeletak itu. Kuputuskan untuk pulang.
Dari sudut yang cukup sempit dengan kemiringan sekitar 200 dari tikungan yang menghadap kontrakan masih terlihat Bu Dhenok duduk di bale pelataran rumahnya, masih saja menunggu Khodir. Tak ada yang dapat ia lakukan lagi seperti pantomim yang tak bersua. Hanya bolak-balik kamar rumah hanya untuk sekedar sholat, tak lebih.
Hari berikutnya pun sama ia lakukan, sampai saat aku mengantarkan makanan kecil buatan Ibuku kepadanya. Ku letakkan di bale persis di samping dimana ia duduk.
“Bu, cicipin enak lho?”, hanya anggukan kepala yang ia berikan. Kulihat Bu Dhenok yang hampir tiap hari berpuasa karena tak ada makanan di rumahnya itu, prihatin ku melihat keadaannya. Ku coba tuk merayunya tuk makan sekadar mengisi energinya. Dengan tangan kananku, kuambil onde-onde itu kudekatkan pada mulutnya, maksudku menguapinya. Namun, dipegangnya tanganku erat-erat sampai tak sanggup ku gerakkan pergelangan tangan dengan bebas. “Lepasin Bu?”, seperti baru saja menonton scary movie, aku ketakutan bukan kepalang. Alih-alih Bu Dhenok sedang kesurupan. Dengan reflect kubaca ayat Kursi, dan ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang ku hafal. Sampai perlahan-lahan ia melepaskan genggamannya, sambil menangis tersedu-sedu.
Kuberanikan diri tuk bertanya, “Ibu baik-baik saja?”, tak ada jawaban. Kami berdua terdiam sejenak untuk waktu yang cukup lama sampai saatnya Ia berkata sesuatu. “Maafin Ibu nya, jang?”,sambil tersedu sedan. “Ibu kangen Khodir?”.
Perlahan ia bangkit dari tempat duduknya, masuk ke ruang tengah mengambil selembar foto dari laci, dan memperlihatkannya kepadaku. “Itu foto kami sekeluarga, sebelum merantau ke kota Jakarta ini. Dalam foto itu Pak Salim, Bu Dhenok dan Khodir kecil dengan peci dikepalanya serta piala piala dan piagam yang masing-masing di tangan kanan dan kirinya yang bertuliskan Juara I Lomba MTQ Se-Kab. Sumedang.
Saat itu pula Bu Dhenok bercerita tentang Khodir.
Khodir anak yang saleh dan patuh pada orang tuanya. Sejak bapaknya meninggal dahulu, Khodir merasa jadi pengganti pelindung Ibunya. Sejak saat itu, Khodir banting tulang untuk menghidupi diri dan Ibunya. Padahal Ibunya merasa penghasilan jadi pemulung saja sudah cukup. Khodir yang remaja itu tak ingin terus-terusan jadi pemulung yang hanya bisa makan 1 hari 2 kali saja sudah untuk bukan kepalang.
Saat itu tepat seminggu kematian ayahnya dan 1 hari sebelum kepergiannya sampai tak kunjung kembali. Khodir dan Ibu Dhenok terjebak pembicaraan serius yang berawal dari pertanyaan Khodir.
“Mi?”, (sapaan untuk seorang Ibu untuk Ibu Dhenok).
“ya”, sahut Ibu Dhenok.
“kapan ya kita punya rumah kayak rumah di komplek Wiyana jaya itu?”, Khodir berangan-angan.
“Wah, kalau Ibu sih bilik ini saja sudah cukup. Takut kalo rumahnya makin besar nanti pertanggungjawabannya ke Allah SWT di akhirat makin besar juga, Dir?”, jawab ibunya.
Khodir, laiknya seorang anak yang ingin membahagiakan orang tuanya berusaha untuk mencari pekerjaan layak agar keinginannya bisa tercapai. Berbagai perusahaan telah ia kunjungi namun tak membuahkan hasil. Nampaknya dengan hanya berbekal Ijazah SMP spertinya tak ada yang diharapkan lagi.
Sesal, sedih, kecewa, pahitnya pengalaman hidup terus ia alami. Jadi enterpreneur muda bukan pilihan yang tepat selain tak ada persiapan yang penting adalah modal tak ada. Sampai akhirnya, seorang pria yang mengaku sebagai sepupu ayahnya pak Salim itu, datang ke rumahnya. Tanpa basa-basi lagi, ia menyampaikan maksud dan tujuan yang tidak lain adalah untuk mengajak Khodir bekerja ke luar kota. Mendengar pembicaraan itu dari kamarnya Khodir terperanjat keluar membanting pintu kamarnya dan langsung mengisyaratkan tanda setuju kepada pria itu.
Khodir minta izin dan berangkat dengan bekal seadanya. Tapi Bu Dhenok sempat tak memberi izin padanya, karena kerisauannya akan pria aneh yang tak ia kenal itu. Nampaknya ada sesuatu yang aneh bagi dirinya. setelah menceritakan semua itu, Bu Dhenok kembali menangis. Itulah akhir pertemuannya dengan anak kesayangannya. Tak ada lagi Khodir, hanya sepucuk surat yang ada tepat di depan pintu rumah tepat 3 hari setelah kepergiannya.
Ummi tercinta
Saat ini Khodir belum bisa pulang
Atau mungkin tak bisa pulang
Khodir harap ibu Mengerti dan tak usah khawatir tentang anak hina ini.
Anggap kau tak pernah melahirkan seorang anak.

Surat itu nampaknya membuat hati Bu Dhenok semakin panas. Jantungnya berdetak sangat cepat. Mukanya merah padu padan tak dapat mengerti semua yang terjadi. Suhu badannya tak kurang dari 45 derajat celcius. Yang akhirnya membuat ia harus dilarikan ke rumah sakit dengan segera. Beberapa waktu kemudian tak terselamatkan.
Hari demi hari, berita itu makin membesar di barisan kontrakan kami. Tentang kepergian Khodir yang tak ada kabarnya. Sampai akhirnya dalam suatu media massa terkenal ibukota dalam headlinenya menyatakan “tertangkap salah satu gembong teroris, Khodir al Jazuri”, selanjutnya dikatakan pula bahwa “pria muda umur 20 tahunan ini adalah kunci sukses dari keberhasilan gembong teroris dalam melancarkan aksinya. Ia berperan sebagai kurir surat.
Pikirku Cuma seorang kurir surat??, siapapun bisa. Dilanjutkan lagi, “surat tak berbungkus dengan tulisan yang tak bermakna. Polisi menduga surat yang berada ditangan Khodir saat ia tertangkap pada suatu penggeledahan di pertigaan jalan raya kemang, tempat yang mencurigakan itu sepertinya ada hubungannya dengan pesan rahasia. Selanjutnya eks...
Hal itu menjadi berita yang hot dikalangan para pemulung. Khodir yang merupakan teladan malah menjadi salah satu gembong teroris papan atas di negara ini.
Suatu saat, Khodir pulang tanpa beban. Aku yang hinggap di depan rumahku melihatnya heran. Ah apa mungkin itu Khodir si teroris papan atas.
Kuhampiri ia langsung dengan sontak dan tenaga yang cukup kulayangkan pukulan ke wajahnya, tanpa perlawanan yang berarti ia tumbang jatuh terduduk melihatku heran. Sempat bingung seperti tak mengerti apa yang sedang terjadi. “kasih ane waktu untuk jelasin ini semua?”,belanya.
“akh, sudah tak perlu ada penjelasan lagi untuk anak durhaka sepertimu!”, aku serasa tak habis pikir padanya masih sempatkah dia pulang dan kabur dari penjara itu. Atau ingin pula mengajakku melakukan pekerjaan haram itu. Dasar kurang ajar.
Selang beberapa lama, ingin kuusir ia dari hadapanku. Tapi cegahnya “aku tak kabur dari penjara, aku Khodir yang bebas tak ada kesalahan atasku?”, celanya. “aku hanya anak ingusan yang baru ingin bahagiakan orang tua, namun dipermainkan oleh orang dewasa”,
“Apa maksudmu?”, aku serasa tak habis pikir. Sontak ia terbangun dari duduknya kemudian menarik kerah bajuku dan langsung berkata, “hei maukah kau mengerti sedikit tentang keberadaanku, rasanya kau orang egois yang tak mau mengerti. Mana rasa persahabatan yang kita bina dulu, percayakah kau tentang kata-kata ku barang sedikit saja, berikan aku waktu setelah itu terserah padamu.”, katanya, aku terdiam tak bersuara.
Akhirnya hatiku luluh dengan kata-katanya. Kuajak ia masuk ke rumahku dan kuberikan waktu ia untuk menjelaskan semuanya.
“sudahkah kau melihat berita itu dengan seksama dan sampai titik habis?”, tanyanya padaku.
Tapi jawabanku hanya menggelengkan kepala.
Tak terpikir olehku untuk itu, ketika ku membaca teroris pada bagian headline surat kabar itu dengan nama Khodir tertera bersamanya, itu sudah cukup bagiku sebagai keterangan buatnya.
“tak semudah seperti yang kau bayangkan, wahai pahlawan kebaikan. Semuanya terjadi begitu saja.” Khodir menyela pembicaraanku.
“Coba kembali kau baca ini.” jelas Khodir menunjukkan selembar Koran yang ia ambil dari sakunya.
Kelanjutan berita diatas>>>
Polisi akhirnya berterima kasih berkat kesediaan Khodir memberikan keterangan yang pasti tentang keberadaan surat-surat yang ia kirim itu akhirnya keberadaan gembong teroris terbesar se asia itu bisa tertangkap sampai ke akarnya. Terima kasih besar atas Khodir sebagai salah satu pahlawan bangsa.
Ah, aku makin tak mengerti saja dengan semua penjelasan ini…. yang manakah sebenarnya yang benar.
Aku tahu kau masih bingung, dan akan kujelaskan secara detail……
Mulanya orang yang mengaku sepupu ayahku mengajakku bekerja. Entah apapun pekerjaannya saat itu aku akan terima tapi bukan pekerjaan yang hina ini. sesampainya di kota itu tidak ada pekerjaan yang aku lakukan. Aku hanya disuruh menjadi pengantar surat laiknya tukang pos, atau bisa dibilang kurir surat. Pesannya, “jangan kau buka surat ini, dan jangan sampai ada yang tau kalau kau bawa surat ini kepadanya?”. Aku hanya disuruh mengantarkan surat ini ke gudang deket sungai. Entahlah apa nama sungai itu???... gudang gelap tak berpenghuni, penuh barang-barang tua, mobil-mobil bekas tabrakan dan segala macam yang ada disana. Kuantarkan surat ini kepada orang itu, orang yang nampaknya sadis. Ada bekas tattoo disekitar wajahnya. Dengan perawakannya yang besar itu. Pernah aku mendengar salah satu orang yang bersamanya memanggilnya dengan panggilan Komandan. Setelah beberapa kali aku menjadi kurir surat itu sempat ada kesalahan yang kulakukan, aku telat mengantarkan surat itu dan hampir-hampir saja ada polisi yang mencurigai apa yang kulakukan. Ketika sepupu ayahku itu yang kupanggil paman mengetahui kesalahanku, “dasar anak bodoh sama seperti ayahmu gak becus kalo kerja?,”, sambil menarik baju bagian depanku dan menghempaskan aku ke permukaan tanah. Aku mulai merasa risih atas perlakuannya, ada yang aneh. Sepenting apakah surat itu baginya dan bagi orang yang ingin mengetahui selain dia dan si komandan. dalam salah satu ekspedisi ku dalam pengiriman surat itu, keingintahuanku membesar. Kuberanikan diri untuk melihat surat itu nampaknya ada sebuah keganjilan darinya. Surat yang berupa sebuah kertas tanpa amplop ataupun pembungkus lainnya dengan kata-kata yang tak bermakna di dalamnya. Praktis hanya ada 2 atau 3 baris saja. Aneh memang… seperti ada yang disembunyikan. Dengan siapa dan untuk apa aku bekerja….pergolakan batinku terasa semakin mencuat. Akhirnya kuputuskan untuk memberikan hal Ini ke kantor polisi. Selanjutnya di kantor polisi itu aku malah dicurigai dibawanya aku ke dalam suatu ruangan yang gelap. Disanan aku diinterogasi laiknya penjahat besar yang tertangkap. Padahal yang kulakukan hanya memberikan surat yang tak jelas itu.
Salah seorang dari polisi itu, membawa suratku tadi lantas dengan segera ia terkejut…..”hah, encryption message. Ini penting”. Kemudian polisi itu membawanya ke dalam sebuah ruangan yang kalau tidak salah bertuliskan ruang sandi atau semacam itulah yang terletak di sebelah kanan ruang kepala bagian kanannya.
Cukup lama aku berada di kantor itu, mendapatkan interogasi yang cukup keras dari seorang polisi yang berbadan kekar. Tak lama kemudian, polisi yang membawa suratku tadi berlari ke dalam ruangan dimana aku berada bersama kepala kepolisian yang berada disana. Ada sedikit kecemasan yang muncul dari raut mukanya. Sepertinya ia mengerti tentang maksud dari surat itu. Yang aku dengar ia katakan kepada pak kepala “lapor, indikasi keberadaan teroris telah ditemukan, lewat surat ini”. hah teroris aku terkejut dan tak habis pikir jadi selama ini aku bekerja dengan teroris yang tidak lain adalah orang yang kupanggil paman itu. Sampai saat itu aku menyesal. Dengan berbekal keterangan dari surat rahasia yang kuberikan akhirnya polisi bisa menangkap gerbong teroris sampai keakar-akarnya.
“nah, mengertikah kau sekarang, wahai Ujang saudaraku?”sabar Khodir dengan penjelasannya.
“Ya aku mengerti.”, jawabku.
Lalu kemana ibuku Bu Dhenok”
Maaf saudaraku ia telah tiada.
Sesal Khodir tak tertahankan…tangis tak terpeluh. Dan semuanya telah berakhir……


CERPEN : Khodir dan Surat Rahasia
Item Reviewed: CERPEN : Khodir dan Surat Rahasia 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!