RESENSI BUKU

RESENSI BUKU
seperti judulnya, buku ini mengangkat sosok bernama Laisa sebagai gambaran bidadari surga. Laisa, anak sulung dengan empat adik, rela putus sekolah dan bekerja di ladang membantu ibunya agar adik-adiknya tetap bersekolah. Ayahnya tewas diterkam harimau beberapa tahun silam. Laisa adalah sosok kakak teladan yang selalu berkorban untuk adiknya hingga adik-adiknya tumbuh menjadi orang sukses. Namun, hingga adik-adiknya melesat dengan kecerdasan, keberhasilan, dan kebahagiaan keluarga baru, ia cukup merasa bahagia dengan ketertinggalan dan kesendiriannya tanpa pendamping hidup. Laisa sudah cukup bahagia melihat adik-adiknya bahagia. Ketegangan novel ini sudah Tere ciptakan mulai bab pertama. Sebuah sms dari Mak Lainuri, ibu kelima tokoh tentang sakit parah Laisa. Ada yang mengesankan di sini. Kita bisa menerawang betapa berharganya Laisa di mata keempat adiknya hingga kabar sakitnya membuat keempat adiknya tunggang langgang menghentikan urusan pekerjaan demi menengok sakit Laisa. Adik-adiknya memang sudah dewasa, mandiri, sukses, dan sebagian sudah berkeluarga. Dalimunte yang paling tua, sukses sebagai ilmuwan, menghentikan ceramahnya di Simposium Fisika Internasional begitu mengetahui kabar dari sms Mak Lainuri. Ikranuri dan Wibisana membatalkan jadwal untuk proyek bisnis ke Roma. Yashinta turun gunung hingga mengalami kecelakaan. Yashinta adalah peneliti dari lembaga konservasi nasional. Ia juga korespondensi foto National Geography.


Cerita bergulir menggambarkan memori Dalimunte, Ikranuri, dan Wibisana tentang masa kecil masing-masing terutama tentang Laisa. Dari sini kita mendapat gambaran penuh betapa pengorbanan Laisa menjadikan ia sosok kakak teladan. Tere memang cenderung memakai plot kilas balik. Namun, di sinilah para pembaca dibuat semakin hanyut oleh arus emosional tentang kenangan masa lalu. Tere memang piawai menyentuh area paling sensitif dari hati manusia yakni memori akan keluarga.


Tokoh terakhir yang mendapat kabar sakit Laisa bernama Tere. Mungkin kita bertanya-tanya apa Tere sedang sebenarnya mengisahkan pengalamannya. Jawabnya, mungkin ini benar mungkin juga tidak karena ini adalah fiksi. Selamanya fiksi adalah fiksi dan tidak bisa dianggap fakta. Yang pasti, Tere dengan piawai menggoreskan sentuhan terakhir pada karyanya dengan sempurna. Tokoh “Tere” dalam novel ini bertindak sebagai turis yang kemudian dianggap kelurga. Di bab akhir ini, tokoh “Tere” muncul sebagai pencerita seolah-olah dia yang bercerita dari bab awal hingga akhir. Ia bertindak seperti kita—orang luar yang begitu terpesona dengan haru biru sebuah kelurga sederhana.

Laisa adalah esensi dari novel ini. Tere menyampaikan bahwa bidadari bukan orang yang secara lahiriah rupawan. Laisa adalah contohnya. Ia buruk, pendek, pertumbuhannya tidak normal, bodoh akan pengetahuan, bahkan sampai ajalnya ia tidak merasakan dicintai oleh lawan jenis sebagai pasangan hidup. Akan tetapi, pengorbanan, ketulusan, dan naluri tanggung jawabnya sebagai kakak menjadikan ia laksana bidadari. Yang mengesankan lagi bahwa dibalik pengorbanannya, ternyata Laisa bukanlah putri sulung kandung keluarga tersebut. Masa lalu Laisa justru lebih buruk dari keempat adik tirinya. Yang unik dari gambaran keluarga ini adalah karakter kuat tokoh-tokohnya yang bervariasi. Dalimunte yang agak penurut kontras dengan Ikranuri dan Wibisana yang badung bukan kepalang hingga hampir diterkam harimau. Keduanya sama-sama cerdas dan berhasil di kemudian hari. Si bungsu, Yashinta cinta alam dan petualang tumbuh menjadi gadis cantik sekaligus keras kepala. Di bab akhir diceritakan pernikahan yang mengharukan antara Yashinta dan pemuda Uzbek yang singkat atas permintaan Laisa yang sedang sekarat. Ada lagi yang menarik dari novel ini. Tere menceritakan Dalimunte sebagai profesor Indonesia yang membuktikan bulan pernah terbelah kemudian Tere menyangkutkannya dengan hadist Rasul. Semula mungkin pembaca akan mengira Tere akan bercerita seperti Dee pada Supernova tapi bersiaplah untuk kecewa. Tere hanya sedikit beceramah fisika pada pidato Dalimunte di tengah simposium. Tere hanya mengangkat sedikit isu tentang kiamat—tentang adanya hipotesis Badai Elektromagnetik Antar Galaksi dan tetap saja penjelasannya menggantung tanpa jawaban. Novel ini nyaris sempurna sebagai master piece kehidupan keluarga yang sarat akan cinta. Bukan cinta sepasang laki-laki perempuan tetapi cinta yang mungkin lebih hakiki. Bukan pula cinta atas dasar keluarga karena Laisa sebenarnya tidak ada hubungan darah dengan Mak Lainuri dan keempat anaknya—Dalimunte, Ikranuri, Wibisana, dan Yashinta. Keindahan cinta dalam novel ini sungguh-sungguh gambaran cinta sebenarnya, tanpa alasan dan tanpa pamrih.

Bagi yang menyukai konflik tajam, mungkin novel ini hanya terkesan datar-datar saja. Tere bercerita Laisa yang sekarat hingga akhirnya menemui ajal oleh kanker paru-paru selebihnya tentang masa lalu keluarga tersebut yang kita ketahui dari memori para tokoh yang mencintai Laisa tentang sosok sempurnanya sebagai kakak. Meskipun demikian, novel ini tetap dapat dinikmati sebagai santapan yang sarat pesan moral. Pembaca akan turut menitikkan air mata karena kehebatan penulis menyajikan cerita yang akan menggugah ingatan ke masa lalu, keluarga, kampung halaman, dan sanak saudara. Terkadang karena jarak dekat dengan keluarga membuat kita tidak menyadari betapa pentingnya mereka bagi kehidupan kita sekarang. Karenanya, novel ini layak dibaca siapa saja. Tidak hanya hiburan dari kepenatan sehari-hari tapi juga sebagai pelajaran moral yang perlu kita renungkan.

RESENSI BUKU
Item Reviewed: RESENSI BUKU 9 out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Emoticon? nyengir

Berkomentarlah dengan Bahasa yang Relevan dan Sopan.. #ThinkHIGH! ^_^

Komentar Terbaru

Just load it!